Cerpen : Between me and you
Lari. Itu satu-satunya hal yang
terpikir olehku. Jantungku berdegup kencang. Bagaimana jika polisi itu berhasil
menangkapku. Tamat sudah riwayatku. Dikeluarkan dari sekolah, dan tak punya
uang. Terkadang aku berpikir, bahwa mencuri bukanlah suatu jalan yang benar. Tetapi sulit untuk menemukan
pekerjaan di kota Florence. Huhh..
Akhirnya aku sampai di tempat yang cukup jauh dari keramaian. Kubuka
topengku dan bergegas pulang ke rumah.
Andromeda Zaslavski. Banyak orang
mengira aku keturunan Rusia, karena nama belakangku. Padahal aku asli Italia. Orang tuaku memberi nama
itu, karena mereka adalah
penggemar seorang DJ yang bernama Anton Zaslavski. Jadi, ya inilah
namaku.
Aku hidup seorang diri di
pinggiran kota Florence, di rumah yang jauh dari kata layak untuk ditinggali.
Orang tua? Tak usahlah
menanyakan hal itu. Aku
malas untuk membahasnya. Hidup serba kekurangan. Bertahan hidup, itu sudah
lebih dari cukup.
Melihat teman-temanku bercanda,
bermain kesana-kemari, itu memang
mengasyikan. Tetapi aku lebih menikmati kesendirian ini. Ditemani oleh
sepasang earphone dan sebuah gadget, itu sudah membuatku bahagia. Bisa dibilang
aku multi talent, karena aku bisa menggambar, membuat game, bermain saxophone
dan aku seorang atlit karate. Hanya beberapa orang yang mengetahui keahlianku ini.
Dari kejauhan terlihat pohon apel
yang sangat rindang. Hening, sunyi, senyap, hanya ada sayup-sayup suara daun
yang bergesekkan. Sangat cocok untuk menenangkan diri. Kuputar beberapa lagu
favoritku. Duduk, mendengarkan musik, sepertinya ada yang kurang. Hmm..
menggambar. Tetapi, apa yang harus aku gambar ? Pemandangan ? Sudah terlalu
banyak. Aku mencari inspirasi di internet. Mataku tertuju kepada seorang wanita
dengan make up natural. Tertulis Evelyn di sudut bawah foto itu, itu namanya
mungkin. Cukup mudah untuk digambar. Kucoba membuat sketsa wajahnya. Mata yang
berbinar, lekukan senyum yang indah, rambut sebahu yang dibiarkan terurai, sungguh
cantiknya wanita ini. Terlalu sempurna untuk orang seperti aku, yang hidup
dalam kekacauan.
Alarm membangunkanku dari tidur yang lelap
ini.Rasa bosan menghadang diriku. Disisi lain aku harus pergi ke sekolah. Walau
dipaksa pun tetap malas. Aku memutuskan untuk pergi ke Ponte Vecchio. Kendaraan
roda 2 yang setia menemaniku kemana pun aku pergi telah menunggu di halaman
rumahku. Perjalanan yang cukup jauh.
Disana, diPonte Vechhio terdapat
sebuah jembatan yang sangat kuno di Kota Florence. Jalanan masih sangat sepi,
karena ini masih pagi. Biasanya banyak sekali toko toko perhiasan yang buka.
Banyak orang yang sekedar berfoto foto di Ponte Vecchio. Aku duduk di sebuah
kursi taman. Menikmati segarnya udara pagi, dalam keheningan Ponte Vecchio.
Suara burung berkicau diiringi dengan suara kendaraan yang sesekali melintas di sekitar
jembatan.
Suara perutku memecahkan
keheningan. Sudah cukup siang, aku
mencari restoran untuk makan, atau sekedar minum untuk menghilangkan
rasa lapar. Sebatang popbar gelato kumakan sedikit demi sedikit agar merasakan
sensasi kenikmatannya. Mataku tertuju pada sekuntum bunga yang mengingatkanku pada
adik perempuanku. Bunga lily. Seperti nama adikku, yang sekarang tak ku ketahui
keberadaannya. I miss you Lily.
Entah berapa lama aku berdiam
diri disini. Tak terasa matahari berganti menjadi bulan yang menyinari dalam
kegelapan malam. Suasana malam Ponte Vecchio lebih hidup dibandingkan saat
siang hari. Banyak street performance
yang menampilkan bakatnya. Menari, menyanyi, bermain alat musik bahkan ada yang
bermain sepak bola. Dari kejauhan, aku mendengar seorang wanita menyanyikan lagu safe and
sound. Itu salah satu lagu favoritku. Aku mencari sumber suara yang tak jauh
dari tempatku. Semakin dekat dengan sumber suara, semakin sepi pula jalannya.
Tak mungkin seorang street performance ada di tempat sepi, pikirku. Siapa yang akan menontonnya? Aku melihat
seorang wanita yang sedang duduk di kursi taman. Ya, dia yang sedang menyanyikan lagu over and
over again. Aku berdiri di belakangnya, dan mulai berjalan kehadapannya sembari
ikut mengiringi nyanyiannya.
So don’t ever think i need more
I’ve got the one to live for
No one else will do
And i’m telling you
Just put your heart in my hands
Aku kaget saat melihat wajahnya.
Apakah ini mimpi ? Atau halusinasi belaka. Melihat sosok wanita yang kugambar
kemarin. Ini tidak mungkin.
“Hey, aku pernah melihat dirimu
di internet, dan kau tahu..,“
Sepertinya dia merasa asing
karena kedatanganku. Dia berlari ke jalan yang cukup ramai. Semakin aku
mengejarnya, semakin cepat ia berlari. Aku meneriakkan sebuah nama yang kudapat
dari fotonya.
“Evelynn..” Laku dia berhenti dibawah pohon, dan
melihat ke belakang. Dengan nafas terengah-engah, dia bertanya kepadaku.
“Mengapa kau tahu namaku ?”, tanyanya. Aku berjalan
menghampirinya agar tak perlu berteriak-teriak.
“Sudah kubilang, aku pernah
melihatmu di internet. Tertera nama itu difotomu. Dan wajahmu cukup menarik,
jadi aku gambar saja foto itu,” Raut kebingungan tampak diwajahnya. Tiba-tiba
ia duduk di trotoar jalan.
“Eve, ngapain kamu duduk disana,
nanti kotor,” Aku memperhatikan penampilannya dari atas sampai bawah. Dia
memakai kemeja, celana yang ketat dengan rok pendek dan sneaker wedges yang
serasi dengan apa yang ia pakai. Fashionable dan pantas sekali dipakai olehnya.
“Aku cape gara-gara tadi lari,
kamu sih,” Nadanya menunjukan bahwa dia kesal. Aku memutuskan untuk ikut duduk
disampingnya, walau aku tetap menjaga jarak dengannya.
“Ohh hehe.. maaf maaf, aku ga
bermaksud melakukan hal yang buruk ko,” Tak ada jawaban yang berarti darinya.
Eve malah sibuk memainkan gadgetnya. Aku berusaha memecahkan keheningan.
“Eve, mau lihat hasil gambar aku
ga,” Dia mengangguk.
Hanya itu jawaban darinya. Unik.
Dia hanya diam tertegun
memandangi hasil gambarku tanpa berkomentar apapun.
“Temui aku esok hari sekitar jam
7 malam disini, okayy..” Dia mengangguk
lagi. Dia menjawab pertanyaanku atau sedang mengiyakan sesuatu di layar hp.
Yeahh.. aku tak peduli yang penting aku bertemu dengan gadis yang kugambar, itu
sudah membuatku senang.
“Kau tak pulang, ini sudah larut
malam. Bagaimana jika orang tuamu mencarimu ?”
Tanpa sepatah kata pun terdengar
dari mulutnya, Evelyn langsung pergi
begitu saja. Semoga anggukan itu jawaban untuk pertanyaanku, bukan untuk apa
yang ada di layar hp nya.
Kasur sudah menyuruhku untuk
pergi ke alam mimpi, bantal menarik kepalaku dan memaksakan mataku untuk
tertutup. Kuharap Eve hadir dalam mimpiku malam ini.
Aku berlari-lari ke sekolah
karena telat berangkat. Sialnya, gerbang sudah ditutup sebelum aku datang.
Tawar-menawar dengan pak satpam gagal dilakukan. Kulihat ada beberapa orang
yang berlari menuju sini. Untung ada teman telatnya. Tetapi semakin dekat, aku
menyadari ada sesuatu yang janggal. Cara mereka berlari tidak seperti orang pada
umumnya. Pakaian mereka memang seragam sekolah, tetapi.. mengapa ada
bercak-bercak merah dibajunya. Ternyata mereka bukan manusia. Segerombolan
zombie akan sampai di hadapanku dalam hitungan detik. Aku berusaha untuk
membuka gerbang, tetapi aku tak bisa.
“Pak, buka gerbangnya pak, ini
ada zombie,” Tak ada respon dari dalam, aku mengintip lewat celah celah
gerbang. Aku terkejut melihat pak satpam telah bertransformasi menjadi zombie.
Semua orang telah berubah menjadi zombie. Apakah aku satu-satunya manusia yang
tersisa. Tidak, ini tidak mungkin. Tempat yang aman. Aku sangat membutuhkan itu
sekarang. Tetapi populasi zombie yang terlalu banyak, membuatku susah untuk
berlari. Hanya bisa pasrah pada keadaan, mungkin sudah sepatutnya aku menjadi
zombie. Aku kaget saat ada zombie menggigit leherku
Ahhhhh..
Tiba-tiba aku terbangun. Huhh
ternyata hanya mimpi.
“Sudah jam berapa ini ?” Tidak.
Ini sudah jam 7. Aku buru-buru berangkat ke sekolah. Mandi, menyiapkan buku
pelajaran dan langsung berlari secepat kilat. Di sekolahku, siswa tidak
diperbolehkan membawa kendaraan. Jadi inilah keseharianku, berlari-lari.
Gerbang hampir ditutup, untungnya
aku datang tepat waktu. Mengikuti pelajaran di sekolah terkadang membosankan.
Saat pelajaran yang tak kusukai, aku lebih memilih bermain musik di ruang seni.
Mencoba semua alat musik yang ada. Gitar, piano, drum, bass sampai saxophone
pun aku coba. Tetapi aku paling suka gitar, aku bisa memainkan lagu dengan
genre apa pun dengan gitar. Walau suaraku pas-pasan, aku sering bermain gitar
sambil bernyanyi.
Aku sampai lupa, nanti malam aku
akan bertemu dengan Evelyn di Ponte Vecchio. Sudah tak sabar bertemu dengannya.
Gadis berpenampilan punk, berhati hello kitty.
Setelah melewati separuh hariku disekolah,
melakukan hal yang bisa membuatku tak bosan berada disana akupun pulang.
Menunggu jam menunjuk arah pukul 5 sore agar aku bisa bersiap-siap untuk
bertemu dengan Evelyn. Aku ingin terlihat menarik didepannya. Hmm, masih ada waktu 2 jam, apa yang bisa
kulakukan ya? Akupun membuka lemariku, melihat-lihat baju mana yang bisa
aku gunakan nanti, yang bisa membuatku terlihat menarik.
Sedikit mengacak-acak seisi lemari, akupun
menemukan sebuah baju yang sudah lama tak kukenakan. Kaos dengan
tulisan-tulisan satir pendensainnya. Mungkin bisa kupakai untuk menyelaraskan style punk Evelyn.
Sudah jam 5, aku harus segera mandi,
menyemprotkan parfum ketubuhku, mengenakan pakaian yang sudah aku siapkan,
memasang earphone, memutar lagu dan mulai menempuh perjalanan ke Ponte Vechhio.
Sengaja aku berangkat lebih awal agar tak membuat Evelyn menunggu.
Setelah kuparkirkan motorku aku berjalan menuju
tempat yang kemarin kujanjikan dan aku melihatnya duduk ditrotoar dengan wajah
gelisah,
“maaf aku membuatmu menunggu lama Eve”, kataku
sambil sambil duduk didepannya dengan wajah bersalah dan dia hanya mengangguk,
lagi.
“apa kamu sudah lama disini?”, tanyaku lagi
tapi kali ini tak ada jawaban, tak ada anggukan atau bahasa tubuh lain darinya
sebagai jawaban pertanyaanku.
“kamu lapar ga? Kita cari tempat makan yuk?”,
aku mencoba membujuknya yang terlihat bosan.
“kamu ke…”, dia memotong pertanyaanku.
“untuk apa kamu memintaku untuk bertemu
denganmu hari ini?”, tanyanya serius.
“hmm, aku ingin….”, dan lagi lagi pembicaraanku
dipotong namun kali ini bukan karena Eve, tapi karena tiba-tiba ada suara
teriakan orang-orang yang sangat ramai. Tak lama setelah itu terdengar suara
lelaki yg khas dan kencang dari speaker. Oliver
Sykes, ya, itu adalah suara Oliver Sykes sedang menyapa penontonnya.
“kenapa aku tak melihat iklan Bring Me The Horizon akan tampil disini
ya?”, Evelyn memecah keheningan kami.
“jadi, kamu mau apa mengajakku bertemu
disini?”, sambungnya.
“aku ingin mengajakmu nonton konser itu. Kamu
mau kan?”, ajakku sambil bangkit dari dudukku dan meraih tangannya mencoba
menariknya berdiri. Aku menariknya kearah konser yang berada 2 blok dariku
sebelum dia menjawab ajakanku karena aku yakin dia salah satu penggemar BMTH.
Kami menonton ditengah kerumunan penonton lain
yang melompat-lompat sambil mengikuti Oliver Sykes bernyanyi. Setelah
menyanyikan 3 lagu, akhirnya lagu BMTH
yang menyentuh tiap kudengarkan dinyanyikan. Lagu ini memiliki lirik yang sendu
walau tetap dengan aransemen yang bersemangat. Semua penonton kembali bernyanyi
tapi kali ini tanpa melompat. Dan dalam diamku, aku ikut bernyanyi dalam hati
bagian reffrainnya.
Who will fix me now?
Dive in when I’m down?
Save me from myself,
don’t let me drown.
Who will make me
fight? Drag me out of life.
Save me from myself,
don’t let me drown.
Dan kudengar Eve pun menyanyikan lagu itu
dengan khitmat. Sepertinya dia meresapi setiap kata dari lirik lagu itu. Konser
pun selesai. Aku mengajaknya pulang, diapun tak keberatan kuantar pulang.
Sepanjang jalan dia tak henti-hentinya menyanyikan lagu-lagu BMTH tanpa
menyelesaikannya.
Dia memintaku berhenti didepan sebuah rumah
yang besar, mewah dengan eksterior bernuansa Eropa-Persia.
“terimakasih ya, aku senang. Maaf merepotkanmu.
Semoga kita bisa berjumpa lagi.”
“hehehe sama sama Eve, aku langsung pulang ya.
Sudah larut., kataku sambil memacu motorku dengan perasaan senang.
Entah kenapa aku bersemangat sekali hari ini,
aku bergegas kesekolah membawa saxophone kebanggaanku. Hari ini sekolah tak
terasa lama untukku, tak seperti biasanya. Akupun segera menuju Ponte Vechhio
berharap menemukan Evelyn lagi disana. Aku berkendara lebih santai dari
biasanya. Aku sedang menikmati suasana jalan yang sering aku lewatkan.
Saat tengah asyik memandangi suasana jalan,
mataku melihatnya duduk disebuah restoran. Mereka duduk dibagian depan sehingga
nampak dari luar. Ya, mereka. Aku melihatnya sedang duduk berdua dan berbincang
yang sepertinya sangat menyenangkan karena Evelyn tampak tertawa dan antusias
mendengarkan lawan bicaranya bercerita. Hal yg tak pernah terjadi saat dia
bersamaku.
Ucapannya saat itu tak akan pernah terjadi
lagi. Ucapannya saat itu seperti ucapan selamat tinggal tanpa kata helo. Dia
tak akan bertemu denganku, dia akan terus bertemu dengan kekasihnya itu. Aku
tak akan berjumpa dengannya, dia sudah bersama kekasihnya. Tapi sesekali aku
mencoba berpikir positif tentang lelaki itu. Mungkin mereka hanya teman. Tapi pikiran
positive dan negativku malah berkecamuk didalam kepaluku. Aku memacu motorku
lebih kencang menuju Ponte Vichheo.
Aku harap aku akan bisa menangkan pikiranku
disini. Aku bersandar ditepi jembatan, menghela nafas panjang, memejamkan mata,
mencoba tenang. Tenang…tenang…tenang…
“kak? Kakak sedang apa? Kenapa kakak tidur
disini? Bangun kaaak!”
Hmm, siapa? Suara
siapa ini? Sangat menganggu sekali. Kakak? Dia memanggilku kakak? Siapa dia?
Apa dia? Aku
membuka mataku, hilang rasa kantuk ku dan kini berganti menjadi rasa penasaran
pada seseorang karena membangunkanku atau mengganggu tidurku atau memanggilku
kakak. “kamu siapa?”, tanyaku sambil memfokuskan tatapanku padanya yang masih
belum jelas.
Dia diam, dia memandangiku dari atas sampai
bawah, matanya menyapu bersih wajahku tak terlewat sedikitpun dari
perhatiannya.
“kok kamu malah diem sih?”, tanyaku kesal.
“kakak...nama…nya... Andromeda… kan?”, tanyanya
agak terbata.
Tunggu dulu, tatapannya, bentuk wajahnya dengan
dagu runcing, aku rasa dia tak asing bagiku. “kamu Lily kan?”, tanyaku
menyelidik.
“iya, kakak kemana aja?”, sambil memeluk
perutku. Sekarang dia sudah tambah tinggi. Aku tak ingat kapan terakhir bertemu
dengannya tapi kali ini aku senang sekali bisa bertemu dengannya. Aku sangat
merindukannya. Akupun menyetarakan tinggiku dengannya, sambil berjongkok aku
bisa ikut memeluknya dan membelai rambut panjangnya.
Tak lama aku merasakan seseorang berdiri
disampingku. Aku mendongakan kepalaku keatas mencoba melihat wajahnya namun tak
bisa, terhalang sinar matahari. Tapi seseorang yang berdiri ini adalah seorang
lelaki. Dia menepuk pundak Lily dan berbicara pada Lily.
“katanya kamu mau belajar gitar, kenapa tadi
pergi? Kasian kak Evelyn jadi nunggu kamu dia.”, katanya kepada Lily.
Sepertinya dia kesal. Tunggu, Eve, gitar,
restoran. Apa dia lelaki yang tadi bersama Evelyn? “kau kenal Evelyn?”
tanyaku sembari berdiri memandang wajahnya tegas.
“iya, aku mengenalnya. Aku baru saja bertemu
dengannya membicarakan biaya les gitar untuk Lily. Dan kau siapa? Kenapa
memeluk adikku?”, dia berbalik bertanya padaku.
Oh, ternyata dia menjadi guru les. Pantas saja
dia terlihat akrab, mungkin begitu sikapnya jika didepan pengguna jasanya.
“aku Andro. Karena dia adikku, kami sudah lama
tak bertemu. Kamu anak tiri dari ibu atau ayahku?”, kami mulai membicarakan
hal-hal kekeluargaan.
Aku jadi tau bawha Ibuku menikah lagi dengan
Ayah Matthew. Tapi Ibuku pun tak tau dimana Ayah berada. Apa Ayah baik-baik saja? Terkadang aku merindukannya. Walau dia
selalu menyebalkan dengan sifat tempramentalnya.
Setelah berbicara banyak bersama Matthew dan Lily kami berpisah karena hari
mulai malam.
Aku jadi merasa bersalah pada Evelyn, aku tak
mencoba menemuinya dulu tadi. Kemana aku harus mencarinya? Aku tak memiliki
nomer handphonenya, tak banyak tahu
tempat kesukaannya, teman-temannya. Aku terus mencarinya, berkeliling
menggunakan motorku berharap akan menemukannya disuatu tempat.
Aku sudah mencarinya keseluruh tempat, aku
sudah berkeliling, kerumahnya, ketempat kami bertemu, dimana-mana, aku tak
dapat menemukannya. Sudah larut malam, sebaiknya aku pulang. Akan kucari lagi kamu besok.
Aku menuju rumah dengan perasaan tidak karuan,
kupacu pelan motorku. Setelah sampai kuparkirkan motorku dihalama depan rumahku
dan saat akan membuka pintu aku melihatnya tertidur dikursi diteras rumahku.
Wajahnya damai. Cantik. Kuusap
rambutnya yang terurai indah itu. Kubelai wajahnya yang menawan. Aku
menunggunya disana. Tapi malam makin larut, tak enak jika kubawa kedalam. Apakah harus kubangunkan dan kuantar dia
pulang? Tidak, dia pasti bosan menungguku disini. Tapi bagaimana dia tau
rumahku? Kusimpan semua pertanyaan-pertanyaanku. Aku kedalam, lalu keluar
menyelimutinya agar tak kedinginan. Malam itu aku tak bisa tidur. Asyik
melihatnya yang sedang terjaga. Tak tega mengganggunya.
Paginya, dia terbangun dan kaget melihatku yg
duduk disampingnya dengan 2 gelas teh yang masih hangat.
“selamat pagi nona Evelyn”, sambutku dengan
senyum manis yang kupunya.
“pagi, eh kamu ngapain disini?”, tanyanya
seraya membersihkan wajahnya dengan tangannya.
“kan ini rumahku, aku berhak dong duduk disini
semalaman menjaga gadis pujaanku tertidur hehehe”
“kamu gak ikut tidur?”
“engga. Nanti kalau kamu diculik, aku
kesepian.”
Dia terdiam dan mulai meminum teh buatanku.
“apa yang membuatmu kesini”, tanyaku memecah
hening.
“aku pulang, tapi aku lupa kalau partnerku belum memberikan kunci serep padaku. Jadi aku terjebak diluar
semalaman bersama partnerku.”
“ini kuncinya nona”, sambil memberikan kunci
rumahku padanya.
Kami habiskan hari itu berbincang. Berbincang
lebih banyak, lebih terbuka, lebih berbagi, lebih menerima. Hargai masa lalu
kami masing-masing. Dan kami menjamin masa depan kami bersama. Kini aku tahu,
dalam diamnya ia mengharapkanku. Dan dia sadar, dalam usahaku adalah dia
dambaanku.
Semua tempat memiliki roman cintanya
masing-masing. Tempat mahal, murah, mewah, sederhana, bersih, kumuh, ramai,
sepi, gelap atau pun terang. Tinggal bagaimana kita menerima cinta itu. Cinta
tanpa tempat kenangan itu cinta yang kosong dan tempat tanpa cinta adalah
hampa.
Komentar
Posting Komentar